Mengapa Sekolah Perlu Menerapkan Restorative Justice

Suatu siang, seorang guru di ruang guru mengeluh tentang muridnya yang kerap melanggar aturan: datang terlambat, menjawab dengan nada tinggi, dan tampak tidak peduli dengan nasihat. “Sudah saya hukum berkali-kali, tapi tidak berubah juga,” katanya. Situasi seperti ini tentu akrab di banyak sekolah. Kita sering berpikir bahwa dengan memberi sanksi, murid akan jera. Namun, apakah benar begitu?

Pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) mengajak kita untuk melihat masalah kedisiplinan dengan cara berbeda — bukan sebagai pelanggaran yang perlu dibalas, tetapi sebagai kesempatan untuk belajar dan memulihkan hubungan.

Dari Hukuman Menuju Pemulihan

Sekolah selama ini cenderung menggunakan pendekatan punitive, yaitu memberi hukuman ketika siswa berbuat salah. Tujuannya baik: menanamkan kedisiplinan. Namun, efeknya sering kali hanya sementara. Siswa memang berhenti melanggar, tapi bukan karena sadar, melainkan takut. Dalam jangka panjang, hubungan antara guru dan siswa bisa menjadi renggang, bahkan menumbuhkan rasa tidak percaya.

Di sinilah restorative justice menawarkan jalan lain. Pendekatan ini menekankan dialog, empati, dan tanggung jawab. Ketika terjadi pelanggaran, yang dilakukan bukan sekadar memberi hukuman, melainkan mengajak siswa memahami akibat dari tindakannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Dengan begitu, sekolah tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran moral.

Bagaimana Cara Kerjanya di Sekolah

Implementasi restorative justice bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana. Misalnya, ketika dua siswa bertengkar, guru tidak langsung memberi sanksi, tetapi mengajak mereka duduk bersama dalam restorative circle. Dalam forum itu, setiap pihak diberi ruang untuk bicara: apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka butuhkan agar situasi bisa diperbaiki. Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hakim.

Praktik ini mengajarkan keterampilan sosial yang penting — mendengarkan, memahami, dan bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Lebih jauh lagi, proses ini menumbuhkan empati. Siswa belajar bahwa tindakan mereka berdampak pada orang lain, dan mereka memiliki kemampuan untuk memperbaikinya.

Mengapa Pendekatan Ini Lebih Efektif

Pendekatan restoratif bukan berarti sekolah menjadi “lunak” atau membiarkan pelanggaran terjadi tanpa konsekuensi. Sebaliknya, pendekatan ini justru memperdalam makna tanggung jawab. Hukuman mungkin membuat siswa patuh, tetapi kesadaran membuat mereka berubah.

Penelitian juga menunjukkan bahwa sekolah yang menerapkan restorative justice mengalami penurunan signifikan dalam jumlah kasus pelanggaran dan skorsing. Hubungan antara guru dan siswa menjadi lebih positif, iklim sekolah lebih aman, dan siswa merasa lebih dihargai. Mereka tidak lagi sekadar “takut salah”, tapi memahami bahwa setiap tindakan punya konsekuensi dan setiap konflik bisa diselesaikan dengan dialog.

Sekolah Sebagai Ruang Tumbuh

Tugas pendidikan bukan hanya mencetak siswa yang patuh terhadap aturan, tapi juga manusia yang mampu merefleksikan diri dan memperbaiki kesalahan. Restorative justice mengingatkan kita bahwa di balik setiap pelanggaran, ada cerita dan kebutuhan yang belum terpenuhi.

Sebagai pendidik, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah tujuan kita menghukum murid adalah agar mereka takut, atau agar mereka tumbuh?

Jika jawabannya adalah yang kedua, maka keadilan restoratif bukan hanya sebuah metode disiplin baru — ia adalah cara membangun sekolah yang lebih manusiawi, tempat setiap kesalahan menjadi ruang untuk belajar, bukan sekadar alasan untuk dihukum.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *