Melihat Dunia dengan Lebih Tenang: Pelajaran dari Factfulness karya Hans Rosling

Di era ketika berita buruk datang bertubi-tubi dan media sosial memperkuat rasa cemas kolektif, kita sering merasa dunia sedang menuju kehancuran. Namun, Hans Rosling dalam bukunya Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World—and Why Things Are Better Than You Think mengajak kita untuk berhenti sejenak, menatap data, dan berpikir lebih tenang. Dengan pendekatan berbasis bukti, Rosling menantang persepsi pesimistis kita tentang dunia—dan menunjukkan bahwa kenyataannya, dunia tidak seburuk yang kita kira.

Melawan Bias Persepsi Dunia

Rosling, seorang dokter dan profesor kesehatan global, mendasarkan argumennya pada data lintas dekade tentang kemajuan manusia. Ia menunjukkan bahwa dalam banyak aspek—seperti harapan hidup, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi—dunia justru mengalami peningkatan signifikan.

Namun, persepsi kita sering keliru karena bias kognitif: kita lebih mudah mengingat berita buruk daripada kemajuan positif yang terjadi perlahan. Fenomena ini disebut negativity instinct, salah satu dari sepuluh “naluri” keliru yang dijelaskan Rosling dalam buku ini, bersama dengan gap instinct (kecenderungan membagi dunia menjadi ‘kaya vs miskin’) dan fear instinct (ketakutan berlebihan terhadap bahaya).

Berpikir dengan “Factfulness”

Rosling tidak hanya menyajikan data; ia menawarkan cara berpikir baru: factfulness — kemampuan untuk melihat dunia dengan berbasis fakta, bukan perasaan. Factfulness bukan sekadar optimisme, melainkan realistis berbasis data. Dalam konteks ini, berpikir faktual membantu kita memahami kompleksitas dunia tanpa terjebak pada narasi hitam-putih.

Buku ini juga menjadi kritik terhadap cara media, politik, dan bahkan pendidikan membentuk persepsi publik. Ketika informasi disajikan secara parsial atau sensasional, publik kehilangan kemampuan untuk menilai situasi secara proporsional. Dengan demikian, Factfulness mendorong pembaca untuk menjadi warga dunia yang melek data, skeptis terhadap generalisasi, dan terbuka terhadap bukti yang menantang keyakinan pribadi.

Fakta-fakta Mengejutkan dari Buku Ini

Salah satu kekuatan Factfulness terletak pada kemampuannya mengguncang persepsi dasar kita tentang dunia. Dalam tes global yang dilakukan Rosling, mayoritas orang—termasuk akademisi dan pemimpin dunia—menjawab kondisi global lebih buruk daripada kenyataannya. Berikut beberapa fakta yang mungkin membuat kita tercengang:

  1. Dunia tidak lagi terbagi dua antara “negara kaya dan miskin.”
    Lebih dari 75% populasi dunia kini hidup di negara berpendapatan menengah, bukan di ekstrem miskin atau kaya. Rosling mengganti dikotomi lama ini dengan empat level pendapatan, dan mayoritas manusia berada di level menengah—punya listrik, air bersih, dan anak bersekolah.
  2. Angka kematian anak turun drastis.
    Pada tahun 1960, 1 dari 5 anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Kini, angkanya tinggal 1 dari 20. Kemajuan kesehatan global terjadi berkat vaksinasi, air bersih, dan layanan dasar kesehatan.
  3. Pendidikan perempuan meningkat pesat.
    Lebih dari 90% anak perempuan di dunia kini bersekolah dasar. Kesetaraan gender dalam pendidikan menjadi salah satu perubahan paling signifikan abad ini.
  4. Pertumbuhan penduduk dunia melambat.
    Rosling memperkirakan populasi global akan stabil di sekitar 10–11 miliar pada akhir abad ini, karena semakin banyak keluarga memilih memiliki anak lebih sedikit seiring meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan.
  5. Akses terhadap listrik, air bersih, dan vaksin kini menjadi standar global.
    Lebih dari 80% populasi dunia kini memiliki listrik dan 85% anak telah divaksinasi. Angka ini menunjukkan bahwa pembangunan dasar telah menjangkau sebagian besar umat manusia.
  6. Kemiskinan ekstrem menurun tajam.
    Pada tahun 1800, sekitar 85% penduduk dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem; kini kurang dari 10%. Meskipun masih ada tantangan, ini adalah capaian besar yang sering luput dari perhatian media.

Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa meski dunia tidak sempurna, arah perubahannya menunjukkan kemajuan nyata—dan persepsi kita sering lebih gelap daripada kenyataan.

Kritik dan Keterbatasan Buku

Meski membawa pesan penting dan menenangkan, Factfulness tidak lepas dari kritik. Sejumlah akademisi menilai bahwa optimisme Rosling terlalu menekankan sisi positif perkembangan global tanpa cukup memperhitungkan dimensi ketimpangan struktural dan politik yang masih kuat.

Misalnya, antropolog Jason Hickel (2019) berargumen bahwa klaim Rosling tentang penurunan kemiskinan dunia bergantung pada standar kemiskinan Bank Dunia (US$1.90 per hari), yang dianggap terlalu rendah. Jika ambang kemiskinan dinaikkan, jumlah penduduk miskin global tetap besar.

Selain itu, Factfulness dinilai kurang sensitif terhadap konteks politik dan kekuasaan yang membentuk ketimpangan. Rosling memandang kemajuan sebagai hasil alami modernisasi dan teknologi, padahal banyak masalah global juga disebabkan oleh eksploitasi sumber daya dan ketidakadilan ekonomi.
Beberapa pengulas juga menyoroti bias Barat dalam buku ini, karena mengukur kemajuan dengan indikator ekonomi dan pendidikan formal yang belum tentu mewakili nilai kesejahteraan di masyarakat non-Barat.

Kritik-kritik ini penting karena mengingatkan kita bahwa data bukanlah kebenaran tunggal, melainkan pintu masuk untuk memahami realitas yang lebih kompleks.


Relevansi bagi Masyarakat dan Pendidikan

Dalam konteks Indonesia, Factfulness memiliki makna yang sangat relevan. Di tengah derasnya arus informasi dan misinformasi, kemampuan berpikir faktual menjadi kebutuhan mendesak. Guru, akademisi, dan pembuat kebijakan dapat mengambil pelajaran penting dari Rosling: mendidik masyarakat agar tidak terjebak pada persepsi negatif yang tidak berdasar.
Pendidikan literasi data dan berpikir kritis harus menjadi bagian dari pembelajaran abad ke-21, agar generasi muda mampu menilai dunia dengan cara yang seimbang dan berbasis bukti.


Penutup: Belajar Tenang Melihat Dunia

Hans Rosling menulis buku ini bukan untuk membuat kita buta terhadap masalah, melainkan agar kita tidak kehilangan harapan. Dunia memang masih menyimpan banyak tantangan, tetapi juga penuh dengan kemajuan yang layak dirayakan.

Dengan factfulness, kita diajak untuk melihat dunia dengan mata yang lebih jernih — bukan untuk menjadi naif, melainkan agar tetap rasional di tengah lautan informasi yang menyesatkan.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *